Reksa dana ETF belum POPULER di Indonesia. Di AMERIKA mulai meledak. Perintisnya menerima hadiah nobel bidang ekonomi 2013. Reksa dana ini memang masih asing di kalangan investor Indonesia. Penerbit di Indonesia pun baru satu perusahaan, yakni
PT Indo Premier. “Sampai sekarang belum ada manajer investasi lain yang meluncurkan ETF saham,” kata Direktur PT Indo Premier Investment Management, Diah Sofiyanti. Padahal rintisan teori ke reksa dana tipe inilah yang membuat
Eugene F. Fama menjadi salah satu penerima Hadiah Nobel 2013.
ETF juga membuat
Vanguard menjadi perusahaan penerbit reksa dana terbesar di Amerika Serikat sejak 2010.
Reksa dana ETF mirip dengan reksa dana saham. Bedanya, manajer investasi reksa dana saham akan membeli saham-saham tertentu yang diperkirakan akan naik. Ia akan memilih satu yang diperhitungkan bakal naik, misalnya PT Astra International Tbk, PT HM Sampoerna Tbk, PT Indosat Tbk, atau satu dari 45 saham yang masuk indeks LQ45.
Sebaliknya, reksa dana ETF tidak memilih hanya satu saham. Mereka membeli saham semua perusahaan yang ada di LQ45. Dengan demikian, setiap kali LQ45 naik, misalnya, nilai reksa dana juga akan naik. Tidak perlu manajer investasi yang sejago Warren Buffet, asalkan dana disebar, maka akan ikut pergerakan indeks, yang dalam beberapa tahun naik.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada 2009, misalnya, masih di bawah 1.500. Sekarang, hanya selang empat tahun, sudah di kisaran 5.000. Kenaikan ini berarti indeks sudah naik tiga kali lipat lebih.
Dengan ETF yang disebar di saham-saham dihitung di IHSG, nilai reksa dana juga akan naik tiga kali lipat lebih. Ide menyebar pembelian saham ke banyak emiten itu dikembangkan oleh Fama sejak 1960-an.
Alasannya, menurut Fama, harga saham tidak mungkin bisa diperkirakan bakal naik atau turun. Percuma saja berusaha menganalisis apakah harga saham itu bakal naik atau turun.
Fama bahkan tidak percaya ada manajer investasi yang bisa memilih saham yang bakal naik harganya. “Sulit, bahkan tidak mungkin, menyebut siapa manajer investasi yang bagus,” kata Fama suatu ketika. Karena itu, Fama mengembangkan teori menyebar dana investasi ke seluruh saham yang masuk indeks tertentu.
Teori ini pertama kali dipraktekkan oleh John C. Bogle. Saat membuat skripsi di Universitas Princeton, Bogle melakukan riset dan menemukan bahwa 75 persen hasil reksa dana lebih rendah daripada jika ditanam di saham seluruh perusahaan yang masuk indeks S&P 500.
Maka, pada 1976, Bogle mendirikan Vanguard dan mulai menerbitkan reksa dana yang strateginya sederhana: menyebar kepemilikan saham pada perusahaan-perusahaan yang mempengaruhi indeks. Sejak 1990-an, sejumlah reksa dana ETF lain mulai muncul di pasar. Krisis global 2008 semakin memperkuat pasar reksa dana ETF karena reksa dana saham biasa tidak kebal krisis. Para manajer investasi tidak bisa memperkirakan harga saham akan jatuh.
Selama lima tahun terakhir, aset yang dikelola reksa dana ETF meningkat tiga kali lipat. Reksa dana ini mulai muncul di Indonesia pada 2007, yang dikelola oleh Indo Premier. Dengan empat paket indeks yang diacu, dana kelolaan ETF terus melejit. “Pertumbuhannya cukup signifikan, sampai 18 kali lipat dalam dua tahun terakhir,” kata Sofiyanti.
Saat ini mereka mengelola Rp 450 miliar, sedangkan dua tahun lalu baru Rp 25 miliar. Tapi tidak semua manajer investasi tertarik membuat paket ETF. Di Amerika Serikat, para pendukung pendekatan ini biasanya menunjuk keberhasilan Warren Buffet. Bekas orang terkaya dunia itu dikenal pintar memilih saham yang diperkirakan akan naik dan hasil dana kelolaannya lebih tinggi daripada indeks saham.
Di Indonesia, sebagian manajer investasi juga lebih suka memilih satu saham tertentu daripada menyebar investasi ke banyak saham, misalnya Antony Kristanto, Presiden Direktur PT HD Capital Tbk. “Kami tidak main di situ,” katanya. “Kami lebih suka yang high risk, high gain (risiko tinggi, pendapatan tinggi).”
Ia mengatakan teori Fama memang benar bahwa harga saham tidak bisa diramal. Tapi, katanya, satu saham itu lebih mudah dianalisis. Dengan pendekatan menghitung satu saham tertentu, katanya, “Rata-rata lebih bagus daripada indeks.”
Belum ada tanggapan untuk "Reksa dana ETF belum POPULER di Indonesia"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini. No Sara, No Racism