Mengharapkan keuntungan sudah menjadi fitrah manusia, tetapi harapan dan kenyataan bisa berbanding terbalik.
Ferdi Hasan presenter kawakan yang kini tengah mengalami
kerugian hingga Rp. 12 milyar, peraih Panasonic Award 2002 dan 2003 ini berharap dapat untung namun malah menjadi buntung.
Pria kelahiran Jakarta, 30 Mei 1973 ini terperosok dalam bisnis investasi. Kerugian hingga Rp. 12 miliar yang ditanamkannya terbilang tidak sedikit. Menguapnya uang itu disebabkan oleh rekomendasi dari seorang financial planner yang mengusung bendera Quantum Magna Financial (QM Financial).
Kuasa hukum Ferdi, mengatakan perkenalan kliennya dengan Ligwina Hananto dari QM Financial dimulai sejak 2006. Nyatanya dari 7 investasi yang dikenalkan 6 diantaranya jeblok semua. Berikut kutipannya dari sindoweekly.
Bagaimana ceritanya sehingga investasi Ferdi Hasan bisa jeblok?
Ferdi mulai menggunakan jasa financial planner sejak 2006. Awalnya baik-baik saja. Pada waktu itu Ferdi disarankan mengambil investasi yang regulated, seperti reksadana, saham, obligasi, dan segalam macam produk investasi sistem perdagangan alternatif lainnya. Paket itu sudah selesai pada 2010 lalu. Kemudian sang financial planner menganjurkan Ferdi untuk mengambil investasi di sektor riil atau bisnis langsung dengan bentuk saham dan pembagian keuntungan. Ternyata merugi.
Kenapa bisa merugi?
Ketika Ferdi tanya, ternyata mereka tidak menguasai produknya. Pada 2012 - 2013 Ferdi disarankan oleh Ligwina untuk investasi ke sekitar enam perusahaan dengan waktu yang berurutan. Dua perusahaan investasi emas dan sisanya bergerak di bidang agrobisnis. Namun ternyata semua jebol dalam waktu enam bulan.
Jebolnya macam-macam sebab, seperti ada yang pengelolanya kabur, menyatakan pailit ada yang tertangkap polisi dan ada yang tidak jelas kemana orangnya. Akhirnya Ferdi ikut repot menangani itu semua. Ferdi menyadari, terutama yang terakhir-terakhir ini investasi itu ada risikonya, tetapi bukan sekedar masalah risiko investasi.
Apa yang dimaksud bukan risiko investasi itu?
Ferdi menemukan bukti-bukti kepemilikan saham di instrumen investasi yang dituju dari pengelola keuangannya. Ferdi juga menemukan bukti aliran dana atau kick back. Padahal sebagai financial planner yang independen tabu menerima hal tersebut. Hal ini tidak pernah diberitahukan sebelumnya. Ini ada indikasi pelanggaran kode etik sebagai financial planner dan penipuan karena apa yang dilakukan lebih pada kepentingan pribadi.
Apakah Ferdi mengecek keberadaan investasi itu?
Sempat, awalnya memang sesuai. Misalnya burung puyuh, pertama kali di cek ada 20.000 ekor burung puyuh. Ketika disidak mereka bilang semua burung puyuhnya lari. Ini di daerah Jawa Barat. Ini indikasinya ada apa? Burung puyuh lari semua atau hanya untuk sekedar memperlihatkan ada. Bahkan pohon jati juga begitu, ternyata tempatnya tidak sesuai dengan yang dijanjikan dan sertifikatnya ganda. Ini di daerah Cipanas.
Setelah investasi Ferdi Hasan jebol, apa penjelasan Ligwina?
Penjelasannya Ferdi disalahkan karena Ferdi yang memilih produk investasi tersebut. Ini adalah risiko. Akhirnya Ligwina hanya mau bicara mengenai CV Panen Mas. Memang penjelasannya tidak memuaskan mereka seolah-olah tidak tahu produknya.
Apa yang Ferdi Hasan harapkan sekarang?
Tadinya Ferdi berharap investasinya bisa kembali, maka dia masih berusaha dalam waktu enam bulan terakhir. Dia berusaha menyelamatkan langsung atau melalui Ligwina. Sekarang, Ferdi sudah pada tingkat menganggap ini risiko, tetapi tidak terima karena pada prakteknya seperti itu.
Artinya yang dikehendaki oleh Ferdi saat ini adalah kejelasan aturan main dan perlindungan terhadap investor. Dulu regulator selalu menyalahkan orang yang berinvestasi langsung, tetapi tidak belajar. Ferdi menyadari keterbatasan itu, dengan demikian Ferdi menggunakan jasa financial planner kalau begini jadinya apa bedanya?
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Bukan sekedar risiko investasi"
Post a Comment
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini. No Sara, No Racism